Kamis, 02 September 2010

Homoseksual, Gay, Dan Lesbian, Dosa Yang Dilaknat Oleh Agama Dan Manusia.

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya lah sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini, yang berjudul : Homoseksual, Gay, Dan Lesbian, Dosa Yang Dilaknat Oleh Agama Dan Manusia. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad Saw.
Dengan terselesaikannya makalah ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih semua pihak yang telah membantu dalam penyusunannya terutama kepada para teman-teman yang dengan tulus ikhlas membimbing penulis selama ini, juga kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu di dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa isi dari makalah ini jauh dari sempurna, penulis berharap pembaca bersedia memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


waljamaliasan

Penulis

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 4
BAB II PEMBAHASAN 5
A. Besarnya Dosa Homoseksual Serta Kekejian dan
Kejelekannya 4
B. Ciri-ciri Kaum Homoseks 10
C. Azab dan Siksa Kaum Nabi Luth 11
BAB III PENUTUP 13
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Homoseksual adalah sejelek-jelek perbuatan keji yang tidak layak dilakukan oleh manusia normal. Allah telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai tempat laki-laki menyalurkan nafsu biologisnya, dan demikian sebaliknya. Sedangkan perilaku homoseksual –semoga Allah melindungi kita darinya- keluar dari makna tersebut dan merupakan bentuk perlawanan terhadap tabiat yang telah Allah ciptakan itu. Perilaku homoseksual merupakan kerusakan yang amat parah. Padanya terdapat unsur-unsur kekejian dan dosa perzinaan, bahkan lebih parah dan keji daripada perzinaan.
Aib wanita yang berzina tidaklah seperti aib laki-laki yang melakukan homoseksual. Kebencian dan rasa jijik kita terhadap orang yang berbuat zina tidak lebih berat daripada kebencian dan rasa jijik kita terhadap orang yang melakukan homoseksual. Sebabnya adalah meskipun zina menyalahi syariat, akan tetapi zina tidak menyalahi tabiat yang telah Allah ciptakan (di antara laki-laki dan perempuan). Sedangkan homoseksual menyalahi syariat dan tabiat sekaligus.
Makalah ini berusaha untuk menyingkap seberapa besar dosa perbuatan homoseksual (gay dan lesbian) dalam pandangan agama Islam dan perbuatan ini dikutuk oleh agama Islam dan manusia pada umumnya.


B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan di atas, rumusan masalah yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut :
“Bagaimana pandangan agama Islam terhadap perilaku homoseksual (gay dan lesbian) dan bagaimana pula pandangan umat manusia pada umumnya terhadap perilaku itu ?”

BAB II
PEMBAHASAN


Para alim ulama telah sepakat tentang keharaman homoseksual. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencela dan menghina para pelakunya.


Artinya : “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya. ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? ‘Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas” [Al-A’raf : 80-81]

Dalam kisah kaum Nabi Luth ini tampak jelas penyimpangan mereka dari fitrah. Sampai-sampai ketika menjawab perkataan mereka, Nabi Luth mengatakan bahwa perbuatan mereka belum pernah dilakukan oleh kaum sebelumnya.

A. BESARNYA DOSA HOMOSEKSUAL SERTA KEKEJIAN DAN KEJELEKANNYA
Kekejian dan kejelekan perilaku homoseksual telah mencapai puncak keburukan, sampai-sampai hewan pun menolaknya. Hampir-hampir kita tidak mendapatkan seekor hewan jantan pun yang mengawini hewan jantan lain. Akan tetapi keanehan itu justru terdapat pada manusia yang telah rusak akalnya dan menggunakan akal tersebut untuk berbuat kejelekan.
Dalam Al-Qur’an Allah menyebut zina dengan kata faahisyah (tanpa alif lam), sedangkan homoseksual dengan al-faahisyah (dengan alif lam), (jika ditinjau dari bahasa Arab) tentunya perbedaan dua kata tersebut sangat besar. Kata faahisyah tanpa alif dan lam dalam bentuk nakirah yang dipakai untuk makna perzinaan menunjukkan bahwa zina merupakan salah satu perbuatan keji dari sekian banyak perbuatan keji. Akan tetapi, untuk perbuatan homoseksual dipakai kata al-faahisyah dengan alif dan lam yang menunjukkan bahwa perbuatan itu mencakup kekejian seluruh perbuatan keji. Maka dari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

Artinya : “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya. ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian?” [Al-A’raf : 80]
Maknanya, kalian telah mengerjakan perbuatan yang kejelekan dan kekejiannya telah dikukuhkan oleh semua manusia.

Sementara itu, dalam masalah zina, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu faahisyah (perbuatan yang keji) dan suatu jalan yang buruk” [Al-Isra : 32]
Ayat ini menerangkan bahwa zina adalah salah satu perbuatan keji, sedangkan ayat sebelumnya menerangkan bahwa perbuatan homoseksual mencakup kekejian.
Zina dilakukan oleh laki-laki dan perempuan karena secara fitrah di antara laki-laki dan perempuan terdapat kecenderungan antara satu sama lain, yang oleh Islam kecenderungan itu dibimbing dan diberi batasan-batasan syariat serta cara-cara penyaluran yang sebenarnya. Oleh karena itu, Islam menghalalkan nikah dan mengharamkan zina serta memeranginya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” [Al-Mukminun : 5-7]
Jadi, hubungan apapun antara laki-laki dan perempuan di luar batasan syariat dinamakan zina. Maka dari itu hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan panggilan fitrah keduanya, adapun penyalurannya bisa dengan cara yang halal, bisa pula dengan yang haram.
Akan tetapi, jika hal itu dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan, maka sama sekali tidak ada hubungannya dengan fitrah. Islam tidak menghalalkannya sama sekali karena pada insting dan fitrah manusia tidak terdapat kecenderungan seks laki-laki kepada laki-laki atau perempuan kepada perempuan. Sehingga jika hal itu terjadi, berarti telah keluar dari batas-batas fitrah dan tabiat manusia, yang selanjutnya melanggar hukum-hukum Allah.
Mujtahid berkata : “Orang yang melakukan perbuatan homoseksual meskipun dia mandi dengan setiap tetesan air dari langit dan bumi masih tetap najis”.
Fudhail Ibnu Iyadh berkata : “Andaikan pelaku homoseksual mandi dengan setiap tetesan air langit maka dia akan menjumpai Allah dalam keadaan tidak suci”.
Artinya, air tersebut tidak bisa menghilangkan dosa homoseksual yang sangat besar yang menjauhkan antara dia dengan Rabbnya. Hal ini menunjukkan betapa mengerikannya dosa perbuatan tersebut.
Amr bin Dinar berkata menafsirkan ayat diatas : “Tidaklah sesama laki-laki saling meniduri melainkan termasuk kaum Nabi Luth”.
Al-Walid bin Abdul Malik berkata : “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menceritakan kepada kita berita tentang kaum Nabi Luth, maka aku tidak pernah berfikir kalau ada laki-laki yang menggauli laki-laki”.

Maka sungguh menakjubkan manakala kita melihat kebiasaan yang sangat jelek dari kaum Nabi Luth ini –yang telah Allah binasakan- tersebar diantara manusia, padahal kebiasaan itu hampir-hampir tidak terdapat pada hewan. Kita tidak akan mendapatkan seekor hewan jantan pun yang menggauli hewan jantan lainnya kecuali sedikit dan jarang sekali, seperti keledai.
Maka itulah arti dari firman Allah berikut.

Artinya : “Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” [Al-A’raf :81]

Allah mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya perbuatan keji itu belum pernah dilakukan oleh siapapun di muka bumi ini, dan itu mencakup manusia dan hewan.
Apabila seorang manusia cenderung menyalurkan syahwatnya dengan cara yang hewan saja enggan melakukannya, maka kita bisa tahu bagaimana kondisi kejiwaan manusia itu. Bukankah ini merupakan musibah yang paling besar yang menurunkan derajat manusia dibawah derajat hewan ?!
Maksud dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut :
Pertama : Jika penyakit ini tersebar di tengah umat manusia, maka keturunan manusia itu akan punah karena laki-laki sudah tidak membutuhkan wanita. Populasi manusia akan semakin berkurang secara berangsur.
Kedua : Pelaku homoseksual tidak mau menyalurkan nafsu biologisnya kepada perempuan. Jika dia telah beristeri, maka dia akan mengabaikan isterinya dan menjadikannya pemuas orang-orang yang rusak. Dan jika dia masih bujangan, maka dia tidak akan berfikir untuk menikah. Sehingga, apabila kaum homoseks ini telah merata dalam sebuah kelompok masyarakat, maka kaum laki-lakinya tidak akan lagi merasa membutuhkan perempuan. Akibatnya, tersia-siakanlah kaum wanita. Mereka tidak mendapatkan tempat berlindung dan tidak mendapatkan orang yang mengasihi kelemahan mereka. Disinilah letak bahaya sosial homoseksual yang berkepanjangan.
Ketiga : Pelaku homoseksual tidak peduli dengan kerusakan akhlak yang ada disekitarnya.

B. CIRI-CIRI KAUM HOMOSEKS
1. Fitrah dan tabiat mereka terbalik dan berubah dari fitrah yang telah Allah ciptakan pada pria, yaitu kehendak kepada wanita bukan kepada laki-laki.
2. Mereka mendapatkan kelezatan dan kebahagian apabila mereka dapat melampiaskan syahwat mereka pada tempat-tempat yang najis dan kotor dan melepaskan air kehidupan (mani) di situ.
3. Rasa malu, tabiat, dan kejantanan mereka lebih rendah daripada hewan.
4. Pikiran dan ambisi mereka setiap saat selalu terfokus kepada perbuatan keji itu karena laki-laki senantiasa ada di hadapan mereka di setiap waktu. Apabila mereka melihat salah seorang di antaranya, baik anak kecil, pemuda atau orang yang sudah berumur, maka mereka akan menginginkannya baik sebagai objek ataupun pelaku.
5. Rasa malu mereka kecil. Mereka tidak malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala juga kepada makhlukNya. Tidak ada kebaikan yang diharapkan dari mereka.
6. Mereka tidak tampak kuat dan jantan. Mereka lemah di hadapan setiap laki-laki karena merasa butuh kepadanya.
7. Allah mensifati mereka sebagai orang fasik dan pelaku kejelekan ; “Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik” [Al-Anbiya : 74]
8. Mereka disebut juga sebagai orang-orang yang melampui batas : “Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melapaui batas” [Al-A’raf : 81]. Artinya, mereka melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah.
9. Allah menamakan mereka sebagai kaum perusak dan orang yang zhalim : “Luth berdo’a. ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu’. Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk (Sodom) ini. Sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim” [Al-Ankabut : 30-31]

C. AZAB DAN SIKSA KAUM NABI LUTH
Disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menhujani mereka dengan batu. Tidak tersisa seorangpun melainkan dia terhujani batu tersebut. Sampai-sampai disebutkan bahwa salah seorang dari pedagang di Mekkah juga terkena hujan batu sekeluarnya dari kota itu. Kerasnya azab tersebut menunjukkan bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang paling keji sebagaimana yang disebutkan dalam dalil.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya : “Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth” [HR Nasa’i]
Arti dari laknat Allah adalah kemurkaanNya, dan terjauhkan dari rahmatNya. Allah membalik negeri kaum Luth dan menghujani mereka dengan batu-batu (berasal) dari tanah yang terbakar dari Neraka Jahannam yang susul-menyusul. Tertulis di atas batu-batu itu nama-nama kaum tersebut.

BAB III
PENUTUP


Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya. Makalah kami yang berjudul “Homoseksual, Gay, Dan Lesbian, Dosa Yang Dilaknat Oleh Agama Dan Manusia”. Semoga makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa dan mahasiswi pada umumnya dan bagi kami khususnya.
Kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Semoga segala amalan baik yang telah diberikan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA


Majalah Fatwa Vol. 11/Th.1/1424H-2003 M.
http://www.almanhaj.or.id Diakses April 2008.

PELAKSANAAN METODE DISKUSI PADA PELAJARAN QUR'AN HADIST

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan, baik pembelajaran formal maupun pembelajaran informal, diarahkan untuk menggapai tujuan pendidikan. Menurut Muhammad Amin, pendidikan sejatinya tidak hanya mencakup dimensi akal, tetapi juga merambah dimensi badan, perasaan, kehendak, dan seluruh unsur kejiwaan manusia serta bakat-bakat dan kemampuannya. Dengan demikian, pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan bakat dan kemampuan individual, sehingga potensi-potensi kejiwaan itu dapat diaktualisasikan secara sempurna.
Lebih jauh, Abuddin Nata menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah membina manusia agar menjadi khalifah Allah di muka bumi. Akan tetapi, implementasi tujuan pendidikan tersebut harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi suatu masyarakat, terutama peserta didik. Dengan demikian, implementasi tujuan pendidikan tersebut disesuaikan dengan bakat dan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik.
Untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan, diperlukan suatu startegi dan teknik yang sering dikenal dengan metode pembelajaran. Secara definitif, metode pembelajaran adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh yang sesuai dan serasi untuk menyajikan suatu hal sehingga akan tercapai suatu tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan yang diharapkan.
Ada beragam metode pembelajaran yang sering digunakan oleh para pendidik dalam kegiatan belajar-mengajar. Di antaranya adalah metode ceramah, metode tanya-jawab, metode diskusi, metode sosio-drama (role playing), metode kerja kelompok, metode pemecahan masalah (problem solving), metode karyawisata (field-trip), metode survai masyarakat, dan sebagainya.
Sebenarnya, urgensi penggunaan metode pembelajaran dalam dunia pendidikan telah diisyaratkan oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an.
اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. an-Nahl [16]: 125)
Secara tersirat, dalam ayat di atas terkandung tiga metode pembelajaran, yaitu h}ikmah (kebijaksanaan), mau’id}ah h}asanah (nasihat yang baik), dan muja>dalah (dialog dan debat).
Demikian juga dalam hadis Nabi, banyak terkandung beragam metode pembelajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Salah satunya adalah hadis berikut ini.
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
Mudahkanlah dan janganlah kamu mempersulit. Gembirakanlah dan janganlah kamu membuat mereka lari. (H.R. Bukhari, Kitab al-’Ilm, No. 67)
Dalam hadis di atas, secara tersirat Rasulullah saw. memerintahkan kepada kita untuk menyelenggarakan suatu kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan tidak sulit. Inilah sebenarnya salah satu metode yang cukup ideal dan bisa memberikan hasil yang optimal.
Selain hadis di atas, masih banyak hadis lain yang mengisyaratkan metode pembelajaran ala Nabi, atau dengan kata lain prophetic learning, pembelajaran berbasis kenabian. Dengan menelaah sejumlah hadis Nabi, Abd al-Fattah Abu Ghuddah menemukan 40 strategi pembelajaran yang secara tersirat dicontohkan oleh Rasulullah saw. Di antaranya adalah metode keteladanan dan akhlak mulia, metode pembelajaran secara bertahap, metode pembelajaran dengan memerhatikan situasi dan kondisi peserta didik, metode tamsil, metode isyarat, dan metode tanya-jawab.
Dari penelusuran sekilas terhadap sumber utama ajaran Islam di atas, yakni Al-Qur’an dan hadis, penulis menyimpulkan bahwa sebenarnya ajaran Islam mengandung sumber inspirasi yang tidak akan pernah kering untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya untuk mengembangkan metode pembelajaran. Akan tetapi, pertanyaannya adalah kenapa dunia pendidikan, khususnya metode pembelajaran, di Barat lebih maju dan lebih berkembang daripada di dunia Islam?
Hal ini terbukti dengan begitu kreatif dan inovatifnya dunia pendidikan Barat dalam mengembangkan metode pembelajaran. Dengan menggandeng ilmu psikologi, bermunculanlah berbagai macam inovasi dalam dunia pendidikan Barat. Di antaranya, Bobbi DePorter dan Mike Hernacki menemukan teori quantum learning, Bobbi DePorter, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nouri merumuskan teori quantum teaching, Dave Meier menggagas teori accelerated learning, Howard Gardner mengusulkan pembelajaran berbasis multiple intelligences, serta Elaine B. Johnson mengajukan teori contextual teaching and learning (CTL).
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut.
1. Bagaimana metode pembelajaran ala Nabi sebagaimana tersirat dalam keragaman ungkapan hadis Nabi?
2. Bagaimana strategi penerapan metode pembelajaran ala Nabi dalam pendidikan Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
PELAKSANAAN METODE DISKUSI PADA PELAJARAN QUR’AN HADIS

A. Metode Pembelajaran
Secara bahasa, metode berasal dari bahasa Yunani, methodos, yang terdiri atas dua kata, yaitu metha yang berarti melalui atau melewati dan hodos yang berarti jalan atau cara. Dengan demikian, secara bahasa, metode adalah suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.
Secara terminologis, metode adalah jalan yang ditempuh oleh seseorang supaya sampai pada tujuan tertentu, baik dalam lingkungan atau perniagaan maupun dalam kaitan dengan ilmu pengetahuan dan yang lainnya. Adapun metodologi adalah ilmu yang mempelajari tentang metode.
Sementara itu, metode pembelajaran adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh yang sesuai dan serasi untuk menyajikan suatu hal sehingga akan tercapai suatu tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam dunia pendidikan, metode pembelajaran menempati posisi yang cukup penting. Sebab, keberhasilan kegiatan belajar-mengajar salah satunya ditentukan oleh kesesuaian metode pembelajaran yang digunakan dengan materi pelajaran yang diajarkan atau dengan minat peserta didik. Oleh karena itu, metode pembelajaran terus berkembang dan akan terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan dunia pendidikan. Berikut ini adalah beberapa metode pembelajaran yang sering digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar: metode ceramah, metode tanya-jawab, metode diskusi, metode sosio-drama (role playing), metode kerja kelompok, metode pemecahan masalah (problem solving), metode karyawisata (field-trip), metode survai masyarakat, dan sebagainya.
B. Metode Pembelajaran Kontemporer
Dewasa ini, dunia pendidikan tidak bisa dilepaskan dari dunia psikologi. Perkembangan dunia pendidikan sering mengikuti perkembangan dunia psikologi. Demikian juga dalam bidang metode pembelajaran. Demi memanjakan para siswa serta meningkatkan hasil belajar dan kemampuan siswa, para praktisi pendidikan kontmporer berlomba-lomba menemukan dan merumuskan aneka ragam metode pembelajaran. Eksperimen mereka dalam mengembangkan metode pembelajaran dilakukan dengan menggandeng ilmu psikologi, terutama psikologi perkembangan anak dan psikologi kepribadian.
Kerja ilmiah mereka bukan tanpa hasil. Dari kerja keras para ahli pendidikan tersebut bermunculanlah metode pembelajaran yang lebih atraktif, kreatif, menyenangkan, dan memberdayakan. Di antaranya adalah metode quantum learning, metode quantum teaching, metode accelerated learning, metode pembelajaran berbasis multiple intelligences, dan metode contextual teaching and learning (CTL).

DAFTAR PUSTAKA
buddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005),
Ismail S.M., Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (Semarang: RaSAIL Media Group bekerja sama dengan LSIS [Lembaga Studi Islam dan Sosial], 2008),
Abd al-Fattah Abu Ghuddah, 40 Strategi Pembelajaran Rasulullah, terj. Sumedi dan R. Umi Baroroh (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005),
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),

PEMIKIRAN AHMAD DAHLAN

PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN
Pendahuluan
Muhammad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. la menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan eorak keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).
Riwayat Hidup Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama.
Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir.
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu.
Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman.
Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam.
Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu.
Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.
Tidak berapa lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah b. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya sampai akhir hayat.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu ajengan penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam Yogya.

Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang (Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam usia 55 tahun.
Pemikiran Ahmad Dahlan
1. Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun ¬tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
2. Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya.
Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat ¬laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
3. Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat te¬robosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per¬kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggo¬ta-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor¬-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berha¬rap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pe¬lajaran dan cara mengajar agama yang di¬berikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ah¬mad Dahlan membuka sendiri sekolah se¬cara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersi¬fat permanen.
4. Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercavaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.
Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.
Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit.
Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini.
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Analisa
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.



Kesimpulan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per¬kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah.

DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Islam Indonesia. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2000).
Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2001).
Mujib, A, dkk. Intelektualisme Pesantren. (Diva Pustaka. Jakarta. 2003).
Wikipedia Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Bebas. (Mizan. Jakarta. 2002).


















KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas selesainya pembuatan makalah ini, selanjutnya shalawat beserta salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mana telah membawa kita dari alam yang penuh dengan kegelapan kealam yang terang benderang dan penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah yang kami beri judul “ PIMIKIRAN KH. AHMAD DAHLAN “ ini, kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak demi kesempurnaan pembuatan makalah ini.

Penulis

Khairuddin, S.Ag

Selasa, 31 Agustus 2010

JILBAB

Telah menjadi suatu ijma’ bagi kaum Muslimin di semua negara
dan di setiap masa pada semua golongan fuqaha, ulama,
ahli-ahli hadis dan ahli tasawuf, bahwa rambut wanita itu
termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di
hadapan orang yang bukan muhrimnya.
Adapun sanad dan dalil dari ijma’ tersebut ialah ayat
Al-Qur’an:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah
mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya, …”
(Q.s. An-Nuur: 31).
Maka, berdasarkan ayat di atas, Allah swt. telah melarang
bagi wanita Mukminat untuk memperlihatkan perhiasannya.
Kecuali yang lahir (biasa tampak). Di antara para ulama,
baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa
rambut wanita itu termasuk hal-hal yang lahir; bahkan
ulama-ulama yang berpandangan luas, hal itu digolongkan
perhiasan yang tidak tampak.
Dalam tafsirnya, Al-Qurthubi mengatakan, “Allah swt. telah
melarang kepada kaum wanita, agar dia tidak menampakkan
perhiasannya (keindahannya), kecuali kepada orang-orang
tertentu; atau perhiasan yang biasa tampak.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Perhiasan yang lahir (biasa tampak)
ialah pakaian.” Ditambahkan oleh Ibnu Jubair, “Wajah”
Ditambah pula oleh Sa’id Ibnu Jubair dan Al-Auzai, “Wajah,
kedua tangan dan pakaian.”
Ibnu Abbas, Qatadah dan Al-Masuri Ibnu Makhramah berkata,
“Perhiasan (keindahan) yang lahir itu ialah celak, perhiasan
dan cincin termasuk dibolehkan (mubah).”
Ibnu Atiyah berkata, “Yang jelas bagi saya ialah yang sesuai
dengan arti ayat tersebut, bahwa wanita diperintahkan untuk
tidak menampakkan dirinya dalam keadaan berhias yang indah
dan supaya berusaha menutupi hal itu. Perkecualian pada
bagian-bagian yang kiranya berat untuk menutupinya, karena
darurat dan sukar, misalnya wajah dan tangan.”
Berkata Al-Qurthubi, “Pandangan Ibnu Atiyah tersebut baik
sekali, karena biasanya wajah dan kedua tangan itu tampak di
waktu biasa dan ketika melakukan amal ibadat, misalnya
salat, ibadat haji dan sebagainya.”
Hal yang demikian ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma’ binti Abu
Bakar r.a. bertemu dengan Rasulullah saw, ketika itu Asma’
sedang mengenakan pakaian tipis, lalu Rasulullah saw.
memalingkan muka seraya bersabda:
“Wahai Asma’! Sesungguhnya, jika seorang wanita
sudah sampai masa haid, maka tidak layak lagi bagi
dirinya menampakkannya, kecuali ini …” (beliau
mengisyaratkan pada muka dan tangannya).
Dengan demikian, sabda Rasulullah saw. itu menunjukkan bahwa
rambut wanita tidak termasuk perhiasan yang boleh
ditampakkan, kecuali wajah dan tangan.
Allah swt. telah memerintahkan bagi kaum wanita Mukmin,
dalam ayat di atas, untuk menutup tempat-tempat yang
biasanya terbuka di bagian dada. Arti Al-Khimar itu ialah
“kain untuk menutup kepala,” sebagaimana surban bagi
laki-laki, sebagaimana keterangan para ulama dan ahli
tafsir. Hal ini (hadis yang menganjurkan menutup kepala)
tidak terdapat pada hadis manapun.
Al-Qurthubi berkata, “Sebab turunnya ayat tersebut ialah
bahwa pada masa itu kaum wanita jika menutup kepala dengan
akhmirah (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke belakang,
sehingga dada, leher dan telinganya tidak tertutup. Maka,
Allah swt. memerintahkan untuk menutup bagian mukanya, yaitu
dada dan lainnya.”
Dalam riwayat Al-Bukhari, bahwa Aisyah r.a. telah berkata,
“Mudah-mudahan wanita yang berhijrah itu dirahmati Allah.”
Ketika turun ayat tersebut, mereka segera merobek pakaiannya
untuk menutupi apa yang terbuka.
Ketika Aisyah r.a. didatangi oleh Hafsah, kemenakannya, anak
dari saudaranya yang bernama Abdurrahman r.a. dengan memakai
kerudung (khamirah) yang tipis di bagian lehernya, Aisyah
r.a. lalu berkata, “Ini amat tipis, tidak dapat
menutupinya.”

MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLA DISEKOLAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak kalangan menilai bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih tergolong memprihatinkan. Hal ini sudah barang tentu menjadi tantangan bagi setiap elemen yang terlibat dalam pendidikan bagaimana meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Sebagaimana diyakini bahwa mutu pendidikan sangat berbanding lurus dengan mutu (kualitas) para pendidiknya. Artinya, kualitas suatu pendidikan sangat dipengaruhi oleh seberapa tinggi tingkat profesionalitas para pendidiknya.
UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP Nomor 19/2005 telah merumuskan parameter bagaimana seorang guru bisa dikategorikan sebagai pendidik yang profesional. Merujuk pada UU dan PP di tersebut, seorang pendidik dikatakan memiliki keprofesionalan jika mereka setidaknya memiliki 4 kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Namun demikian untuk menjadi pendidik profesional diperlukan usaha-usaha yang sistemik dan konsisten serta berkesinambungan dari pendidik itu sendiri dan pihak pengambil kebijakan.
Selain aspek profesionalitas guru, hal penting lainnya yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan adalah pembaruan dalam efektivitas metode pembelajaran[3]. Pembaruan efektivitas metode pembelajaran dimaksudkan bahwa harus ada upaya terobosan untuk mencari strategi dan metode pembelajaran yang efektif oleh guru di dalam kelas.
Pada saat ini kita masih sering melihat model pembelajaran yang konvensional berlangsung di berbagai lembaga pendidikan. Sebuah sistem dimana guru selalu ditempatkan sebagai pihak ”serba bisa” yang berkuasa sepenuhnya untuk mentransfer berbagai ilmu pengetahuan dan memberikan doktrin-doktrin. Sementara itu, siswa sebagai obyek penerima ilmu pengetahuan harus melaksanakan segala doktrin yang disampaikan oleh guru tanpa boleh membantah. Ketika mengajar di kelas, sang guru seolah-olah mempunyai hak penuh untuk berbicara, sementara siswa harus diam mendengarkan dengan baik tanpa diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kritisnya.
Kondisi guru yang demikian dominan setidaknya berakibat kepada lahirnya superioritas guru dan minimnnya input dari pihak lain demi perbaikan kinerja guru. Hal ini bisa difahami, sebab semakin superior seorang guru, maka ada ”ketakutan” dari pihak lain untuk memberikan masukan kepada guru tersebut. Akibat selanjutnya mereka tidak pernah mengetahui apakah pembelajaran yang dilakukan sudah benar dan baik, demikian juga apakah metode yang mereka lakukan telah efektif bisa diterima oleh siswa atau belum.
Fenomena guru diatas, tidak bisa dipungkiri terjadi juga pada guru-guru PAI (Pendidikan Agama Islam) yang mengajar di sekolah umum (non agama). Melihat kenyataan ini, perlu kiranya kita mencari solusi pemecahan yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertanyaannya sekarang adalah sistem pengajaran yang bagaimanakah yang dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita? Strategi dan metode pengajaran yang bagaimanakah yang dapat dijadikan alternatif terbaik untuk anak didik kita?
Dalam konteks inilah Lesson Study diyakini mampu meningkatkan profesionalisme pendidik, sebab Lesson Study merupakan model pembinaan profesi pendidik secara kolaboratif dan berkesinambungan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Dengan kata lain, Lesson Study diyakini mampu menjadi lokomotif penggerak gerbong pendidikan. Konon, Jepang sebagai negeri asal Lesson Study (Jugyokenkyu), mampu menjadi kiblatnya reformasi pendidikan bagi banyak negara maju, salah satunya karena menjadikan Lesson Study sebagai budaya dan basis pembelajaran yang terus-menerus dikembangkan.







BAB II
PEMBAHASAN
MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLA DISEKOLAH
A. Pentingnya Lesson Study Bagi Pembelajaran PAI
Selama pendidikan masih ada, maka selama itu pula masalah-masalah tentang pendidikan akan selalu muncul dan orang pun tak akan henti-hentinya untuk terus membicarakan dan memperdebatkan tentang keberadaannya, mulai dari hal-hal yang bersifat fundamental-filosofis sampai dengan hal-hal yang sifatnya teknis-operasional. Sebagian besar pembicaraan tentang pendidikan terutama tertuju pada bagaimana upaya untuk menemukan cara yang terbaik guna mencapai pendidikan yang bermutu dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang handal, baik dalam bidang akademis, sosio-personal, maupun mental-spiritual.
Salah satu masalah atau topik pendidikan yang belakangan ini menarik untuk diperbincangkan yaitu tentang Lesson Study, yang muncul sebagai salah satu alternatif guna mengatasi masalah praktik pembelajaran yang selama ini dipandang kurang efektif. Seperti dimaklumi, bahwa sudah sejak lama praktik pembelajaran di Indonesia termasuk pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) pada umumnya cenderung dilakukan secara konvensional yaitu melalui teknik komunikasi oral dengan didominasi metode ceramah.
Dalam kasus pembelajaran PAI, praktik pembelajaran konvesional semacam ini lebih cenderung menekankan pada bagaimana guru mengajar (teacher-centered) dari pada bagaimana siswa belajar (student-centered), dan secara keseluruhan hasilnya dapat kita maklumi yang ternyata tidak banyak memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa. Untuk merubah kebiasaan praktik pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran yang berpusat kepada siswa memang tidak mudah, terutama di kalangan guru yang tergolong pada kelompok laggard (penolak perubahan/inovasi). Dalam kondisi seperti ini, Lesson Study tampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif guna mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Indonesia menuju ke arah yang jauh lebih efektif.
Catherine Lewis[8], berdasarkan hasil observasinya terhadap berbagai implementasi Lesson Study mengemukakan nilai positif implementasi Lesson Study antara lain:
1. Tujuan bersama untuk jangka panjang. Lesson study didahului adanya kesepakatan dari para guru tentang tujuan bersama yang ingin ditingkatkan dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas, misalnya untuk materi pembelajaran PAI tentang pengembangan sikap toleransi dan empati, pengembangan akhlakul karimah, pengembangan kesalehan individual dan sosial siswa, pengembangan kemampuan akademik siswa terhadap mata pelajaran PAI yang bersifat pemahaman konsep, pengembangan pembelajaran yang menyenangkan, mengembangkan kreatifitas dan kerajinan siswa dalam belajar, dan sebagainya.
2. Materi pelajaran yang penting. Lesson study memfokuskan pada materi atau bahan pelajaran yang dianggap penting dan menjadi titik lemah dalam pembelajaran siswa serta sangat sulit untuk dipelajari siswa. Untuk materi PAI misalnya tema-tema yang terkait dengan praktik fiqih seperti praktik berwudlu’, sholat, haji dan lain sebagainya yang sangat penting dipahami dan dikuasai siswa terlebih dahulu.
3. Studi tentang siswa secara cermat. Fokus yang paling utama dari Lesson Study adalah pengembangan dan pembelajaran yang dilakukan siswa, misalnya, apakah siswa menunjukkan minat dan motivasinya dalam belajar PAI, bagaimana siswa bekerja dalam kelompok kecil dalam mendiskusikan sebuah tema dalam materi PAI, bagaimana siswa melakukan tugas-tugas PAI yang diberikan guru, serta hal-hal lainya yang berkaitan dengan aktivitas, partisipasi, serta kondisi dari setiap siswa dalam mengikuti proses pembelajaran PAI. Dengan demikian, pusat perhatian tidak lagi hanya tertuju pada bagaimana cara guru dalam mengajar PAI sebagaimana lazimnya dalam sebuah supervisi kelas yang dilaksanakan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah.

4. Observasi pembelajaran secara langsung. Observasi langsung boleh dikatakan merupakan jantungnya Lesson Study. Untuk menilai kegiatan pengembangan dan pembelajaran PAI yang dilaksanakan siswa tidak cukup dilakukan hanya dengan cara melihat dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lesson Plan) atau hanya melihat dari tayangan video, namun juga harus mengamati proses pembelajaran PAI secara langsung di kelas nyata. Dengan melakukan pengamatan langsung, data yang diperoleh tentang proses pembelajaran PAI akan jauh lebih akurat dan utuh, bahkan sampai hal-hal yang detil sekali pun dapat digali. Penggunaan videotape atau rekaman bisa saja digunakan hanya sebatas pelengkap, dan bukan sebagai pengganti.
Dalam konteks pembelajaran Pendidikan Agama Islam, diyakini bahwa praktek dan implementasi pola Lesson Study secara berkelanjutan akan mampu meningkatkan profesionalisme guru-guru PAI yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran Pendidikan Agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, implementasi Lesson Study untuk pembelajaran Pendidikan Agama Islam merupakan terobosan strategis dalam peningkatan kualitas pembelajaran PAI yang mutlak segera dijadikan sebagai tradisi peningkatan mutu pembelajaran.



B. Implementasi Lesson Study dalam Pembelajaran PAI
Untuk dapat memulai kegiatan lesson study dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam maka diperlukan perubahan dari dalam diri guru PAI itu sendiri sehingga –paling tidak- memiliki sikap sebagai berikut:
1. Semangat introspeksi terhadap apa yang sudah dilakukan selama ini terhadap proses pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengajukan pertanyaan terhadap diri sendiri dengan pertanyaan seperti:
a. Apakah saya sudah melakukan tugas sebagai guru PAI dengan baik?
b. Apakah pembelajaran PAI yang saya lakukan telah sesuai dengan kompetensi yang diharapkan akan dicapai siswa?
c. Apakah saya telah membuat siswa merasa jenuh dengan pembelajaran PAI saya?
d. Adakah strategi-strategi lain yang lebih baik yang bisa digunakan untuk melaksanakan pembelajaran PAI ini selain strategi yang biasa saya gunakan?
e. Apakah ada alternatif kegiatan belajar lain yang juga cocok untuk pembelajaran PAI ini?
f. Adakah media pembelajaran yang lebih baik yang dapat dipakai untuk pembelajaran PAI ini selain media pembelajaran yang biasa saya gunakan?
g. Mengapa siswa saya tidak termotivasi untuk mengikuti pembelajaran PAI dari saya?
h. Apakah selama ini saya telah menggunakan instrumen evaluasi PAI yang tepat?
i. dan lain-lain[9].
2. Serangkaian pertanyaan tersebut harus dijawab dengan jujur oleh setiap guru PAI yang ingin terlibat/dilibatkan dalam kegiatan lesson study. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas tentu akan mendorong guru PAI pada proses pencarian cara untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan PBM-nya selama ini.
3. Keberanian membuka diri untuk dapat menerima saran dari orang lain untuk peningkatan kualitas diri.
4. Keberanian untuk mengakui kesalahan diri sendiri.
5. Keberanian untuk mau mengakui dan memakai ide orang lain yang baik.
6. Keberanian memberikan masukan yang jujur dan penuh penghormatan

Jika guru PAI yang terlibat dalam kegiatan lesson study sudah memiliki atau menyadari pentingnya sikap-sikap di atas, maka langkah selanjutnya adalah memfokuskan kegiatan lesson study dengan cara menyepakati tema permasalahan dan pembelajaran yang akan diangkat dalam kegiatan. Kemudian kelompok lesson study dapat membuat perencanaan pembelajaran PAI yang akan dilakukan. Perencanaan pembelajaran ini dituangkan dalam bentuk perangkat pembelajaran dan lembar instrumen observasi pengumpulan data PBM.
Penyusunan lembar observasi untuk mengumpulkan data PBM merupakan suatu elemen penting lesson study yang didasarkan pada rencana pembelajaran yang disusun. Lembar observasi ini akan memandu pengamat untuk memperhatikan aspek-aspek khusus yang menjadi fokus kegiatan lesson study. Pengumpulan data dari hasil observasi PBM ini biasanya terkait dengan suasana kelas, ketercapaian tujuan pembelajaran, keterlaksanaan langkah-langkah pembelajaran yang telah direncanakan, hambatan-hambatan yang muncul saat PBM berlangsung, antusiasme siswa, dsb.
Perangkat pembelajaran adalah sejumlah bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman yang akan digunakan dalam proses pembelajaran atau digunakan pada tahap tindakan (do) dalam kegiatan lesson study. Karena lesson study adalah kegiatan yang direncanakan, dilakukan dan dinilai bersama oleh kelompok, maka perlu disadari betul bahwa keberhasilan dan kegagalan PBM adalah tanggung jawab bersama semua anggota kelompok. Oleh karena itu tujuan utama penyusunan perangkat pembelajaran adalah agar segala sesuatu yang telah direncanakan bersama dapat tercapai.
Adapun perangkat pembelajaran yang disusun dalam tahap perencanaan (plan) suatu kegiatan lesson study meliputi:
1. Rencana Pembelajaran. Adapun komponen rencana pembelajaran PAI adalah:
1. Standar kompetensi dan kompetensi dasar, dalam hal ini kita harus memilih dari kurikulum PAI.
2. Pokok bahasan, dipilih dari kurikulum PAI.
3. Indikator, disusun sendiri oleh kelompok guru PAI dan dijabarkan dari standar kompetensi.
4. Model Pembelajaran, dipilih sesuai penekanan kompetensi dan materi.
5. Skenario pembelajaran, berisi urutan aktivitas pembelajaran siswa dan mencerminkan pilihan model Pembelajaran.
6. Urutan Metode Pembelajaran, disesuaikan dengan aktivitas siswa dan model pembelajaran.
7. Media pembelajaran, dipilih dan di urutkan sesuai skenario pembelajaran.
8. Instrumen evaluasi meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik
2. Lembar Kerja Siswa ( LKS)
Berisi langkah- langkah kegiatan belajar siswa. LKS yang di susun dapat bersifat panduan tertutup yang dapat dikerjakan siswa, sesuai dengan tuntunan yang ada, atau dapat juga LKS yang bersifat semi terbuka. LKS model ini memberi peluang bagi siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, walaupun masih ada peranan guru dalam memberikan arahan. LKS dapat juga berupa modul pembelajaran PAI. LKS model apapun yang di susun harus mampu memberikan panduan agar siswa dapat belajar dengan benar, baik dari segi proses keilmuan maupun dalam memperoleh konsep.
3. Teaching Guide (Panduan Guru )
Dalam Lesson study pembelajaran PAI perencanaan dibuat oleh kelompok guru PAI, namun pelaksanaannya tetap di lakukan oleh seorang guru. Agar apa yang direncanakan sesuai dengan yang dilaksanakan, maka perlu adanya pedoman/petunjuk guru. Panduan guru ini biasanya berisi bagaimana guru harus mengorganisasi siswa, mengunakan LKS, memimpin diskusi sampai bagaimana guru harus mengevaluasi.
C. Media Pembelajaran
Media pembelajaran yang dipergunakan dalam proses pembelajaran PAI di dapat berupa perangkat lunak seperti: lembar transparansi, gambar, CD maupun perangkat keras seperti : OHP, LCD, VCD Player, piranti demonstrasi ataupun piranti ekperimen. Perlu digarsibawahi bahwa Lesson Study melibatkan banyak orang, dalam kaitannya dengan manajemen waktu dan media pembelajaran, maka guru harus benar- benar melakukan uji waktu sebelum tampil, apalagi jika menggunakan perangkat untuk demonstrasi atau eksperimen.

MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH
A. PENGERTIAN MANAJEMEN
Secara luas orang sudah banyak mengenal tentang istilah manajemen, hakekat manajemen secara relatif yaitu bagaimana sebuah aktivitas bisa berjalan lebih teratur berdasarkan prosedur dan proses. Secara umum dikatakan bahwa manajemen merupakan proses yang khas terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya.
Dua pelopor uama yang selalu disebut dalam semua literatur tentang mana jemen adalah Frederick W. Taylor di Amerika Serikat dan Heri Fayol di Perncis. Kedua plopor tersebut adalah Sarjana Teknik. Sejarah telah mencatat pula bahwa seiring dengan bertumbuhnya berbagai bentuk organisasi, maka banyak ilmuwan yang menaruh minat pada penggalian dan penumbuhan teori manajemen yang, digabung dengan pengalaman makin banyak orang, semakin menimbulkan kesadaran bahwa manusia dalam organisasi apapun tidak dapat dan tidak boleh diperlakukan sebagai mesin. Dengan perkataan lain semakin disadari bahwa sumber daya manusia idak dapat disamakan dengan alat-alat produksi lainnya.
Para pakar Administrasi Pendidikan seperti Sergiovanni, Burlingame, Coombs, dan Thurston (1987) dalam Ibrahim Bafadal mendefinisikan manajemen sebagai “process of working with and through others to accomplish organizational goals efficiently, yaitu proses kerja dengan dan melalui (pendayagunaan) orang lain untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien”. Oleh karena definisinya itu, banyak pakar administrasi pendidikan yang berpendapat bahwa manajemen itu merupakan proses, terdiri atas kegiatan-kegiatan dalam upaya mencapai tujuan kerjasama (administrasi) secara efisien.
Gaffar dalam E. Mulyasa mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang sistematik, sistemik, dan komperhensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Atas dasar uraian diatas, kajian tentang hakikat manajemen, selain ditinjau dari definisinya sebagaimanan dikemukakan diatas, juga perlu dikaji lebih lanjut dari;
1. proses atau langkah-langkah manajemen,
2. tujuan manajemen.






Menurut Gorton dalam Ibrahim Bafadal manajemen itu pada hakikatnya merupakan proses pemecahan masalah, sehingga langkah-langkah manajemen tidak ubahnya sebagai langkah-langkah pemecahan masalah. Gorton mengidentifikasikan langkah-langkah manajemen sebagai berikut:
1. Identifikasi masalah
2. Diagnosis masalah
3. Penetapan tujuan
4. Pembuatan keputusan
5. Perencanaan
6. Pengorganisasian
7. Pengkoordinasian
8. Pendelegasian
9. Penginisiasian
10. Pengkomunikasian
11. Kerja dengan kelomnpok-kelompok
12. Penilaian.

Manajemen yang sering diartikan sebagai ilmu, seni, dan profesi. Dikatakan sebagai ilmu oleh Luther Gulick karena manajemen dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja sama. Dikatakan sebagai seni oleh Follet karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain menjalankan dalam tugas. Dipandang sebagai profesi karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer dan para profesional dituntun oleh suatu kode etik.

B. Pengertian Pembelajaran
Konsep dasar pembelajaran dirumuskan dalam Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yakni “Pembelajaran adalah proses intraksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Dalam konsep tersebut terkandung lima konsep, yakni interaksi, peserta didik, pendidik, sumber belajar, dan lingkungan belajar.
Untuk memperoleh pengertian yang objektif tentang belajar atau pembelajaran terutama belajar disekolah, perlu dirumuskan secara jelas pengertian belajar. Menurut pengertian secara psikologis, “belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil darai intraksi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku”.
James O. Whittaker dalam Syaiful Bahri Djamarah merumuskan belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah selalui latihan atau pengalaman. Sementara Cronbach berpendapat bahwa “learning is shown by change in behavior as a result of experience. belajar sebagai suatu aktivitas yang ditujukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman”.
Sedangkan pembelajaran merupakan istilah baru yang digunakan untuk menunjukan kegiatan guru dan siswa. Sebelumnya, kita menggunakan istilah “proses belajar-mengajar” dan “pengajaran”. Istilah pembelajaran merupakan terjemahan dari kata “intruction”. Menurut Gane, Briggs, dan Wager (1992) “Intruction is a set of event that affect learner is such a way that learning is facilitated. Pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa”.
Definisi lain mengatakan bahwa pembelajaran merupakan kegiatan guru secara terprogram dalam desain intruksional, untuk membuat sisiwa belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Menurut kamus, pembelajaran berarti proses, cara menjadikan orang untuk makhluk hidup belajar.
Lebih jelasnya lagi Najib Sulhan dalam bukunya Pembangunan Karakter Pada Anak (Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif) memberikan definisi pembelajaran, bahwa pembelajaran adalah suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik atau pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik atau pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.



C. Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI)
Islam adalah doktrin agama, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya melalui para Rasul. Dalam Islam memuat sejumlah ajaran, yang tidak sebatas pada aspek ritual, tetapi juga mencakup aspek peradaban. Dengan misi utamanya adalah sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam hadir dengan menyuguhkan tata nilai yang bersifat plural dan inklusif yang merambah ke dalam semua ranah kehidupan.
Berikut bebrapa pengetian pendidikan agama Islam yang penulis kutif dari berbagai sunber:
1. Berdasarkan rumusan Seminar Pendidikan Islam se Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian “Pendidikan Islam sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengasawi berlakunya semua ajaran Islam.
2. Menurut Ramayulis Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadara dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman.
3. Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriono “Pendidikan Agama Islam adalah usaha yang lebih khusus dan ditekankan pada pengembangan fitrah keberagamaan dan sumber daya insani lainnya agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengajarkan ajaran Islam”.
4. Oemar Muhamamd Al-Toumy Al-Syaebani diartikan sebgai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan….perubahan itu ditandai dengan nilai-nilai Islami.

Definisi lain menjelaskan pembelajaran adalah seperangkat kejadian yang mempengaruhi siswa dalam situasi belajar. Sedangkan pengertian pembelajaran pendidikan agama Islam adalah suatu proses yang bertujuan untuk membantu siswa dalam belajar agama Islam. Dalam pembelajaran PAI harus di dasarkan pada pengetahuan siswa yang belajar dan lebih sering difokuskan bagi suatu materi ada kepentingan antara panjangnya materi pelajaran yang tercampur atau tidak tercampur dengan spesifikasi apa yang harus dimunculkan.
Pembelajaran PAI ini juga harus menjadi sesuatu yang direncanakan dari pada hanya sekedar asal jadi. Pembelajaran PAI ini akan lebih membantu siswa dalam memaksimalkan kecerdasan yang siswa miliki, menikmati kehidupan, serta kemampuan untuk berinteraksi secara fisik dan social terhadap lingkungan.
Dari pengertian manajemen dan pembelajaran diatas, dapat disimpulkan pengertian manajemen pembelajaran ialah suatu proses penyelenggaraan interaksi peserta didik dengan seorang guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien.


D. Fungsi Manajemen Pembelajaran
Fungsi manajemen memang banyak macamnya dan selalu berkembang maju, baik dalam bentuk penambahan maupun pengurangan sesuai dengan perkembangan teori organisasi dari waktu ke waktu dan disesuaikan dengan kebutuhan organisasi pada waktu bersangkutan.
Untuk mencapai tujuannya, organisasi memerlukan dukugan manajemen dengan berbagai fungsinya yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi masing-masing.
Menurut Oemar Hamalik fungsi manajemen antara lain; fungsi perencanaan, pengerakan, pengorganisasian, koordinasi, supervisi, pemantauan, ketenangan dan penilaian serta kepemimpinan yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi itu.
Menurut E. Mulyasa fungsi poko manajemen antara adalah “perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan”. Pelaksanaan manajemen sekolah yang efektif dan efisien menuntut dilaksanakannya keempat fungsi pokok manajemen tersebut secara terpadu dan terintegrasi dalam pengelolaan bidang-bidang kegiatan menajemen pendidikan. Melalui manajemen sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Dari fungsi manajemen yang ada diatas, apabila dikaitkan dengan pembelajaran maka fungsi manajemen pembelajaran adalah :
a. Merencanakan, adalah pekerjaan seorang guru untuk menyusun tujuan belajar.
b. Mengorganisasikan adalah kegiatan seorang guru untuk mengatur dan menghubungkan sumber-sumber belajar, sehingga dapat mewujudkan tujuan belajar dengan cara yang paling efektif dan efisien.
c. Memimpin adalah kegiatan seorang guru untuk memotivasikan, mendorong dan menstimulasikan siswanya sehingga mereka akan siap untuk mewujudkan tujuan.
d. Mengawasi adalah kegiatan seorang guru untuk menentukan apakah fungsinya dalam mengorganisasikan dan memimpin diatas telah berhasil dalam mewujudkan tujuan yang telah dirumuskan.
Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Balitbangdikbut (1991) menunjukkan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Dari pengertian manajemen pembelajaran dan fungsi manajemen pembelajaran dapat disimpulkan bahwa seorang guru dengan sengaja memproses dan menciptakan suatu lingkungan belajar didalam kelasnya dengan maksud untuk mewujudkan pembelajaran yang sudah di rumuskan sebelumnya.

















DAFTAR PUSTAKA

Nana Sudjana dan Ibrahim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, (Bandung: Sinar Baru, 1989),
Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosdakarya, 2009), cet XXIII,
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996),
Lexy J. Moeleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009),
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitia, Edisi Revisi, (Yogyakarta : Rineka Cipta, 2006), cet. XIII
Sumardi Suryosubroto, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983),

Jumat, 27 Agustus 2010

PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, kami ucapakan. Segala puji bagi Allah swt.yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah kami ini dan atas nikmat-NYA pula kita masih dapat sama-sama berkumpul di tempat dan waktu yang sama ini.
Shalawat beriring salam tak lupa kami hanturkan kepada Nabi Muhammad saw.yang telah mengangkat derajat kaum muslim dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang pendidikan. Dan kelurga serta sahabat Rasul semoga di ridhoi Allah swt.
Kami sangat yakin bila dalam penulisan makalah kami ini masih banyak terdapat kekurangan karena ibarat pepatah “Tak ada gading yang tak retak” maka kami mohon maaf atas segala kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam penyajian makalah ini.
Akhir kata, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari kawan-kawan sekalian dan khususnya dari dosen pembimbing mata kuliah Masail Fiqhiyah










BAB I
PENDAHULUAN
Mengganti organ tubuh yang sakit atau rusak sama sekali bukanlah inovasi abad modern. Dalam sebuah literature hadis juga dituturkan peristiwa ‘Ufrajah, seorang sahabat Nabi saw.kehilangan hidung ketika berperang dan diganti dengan hidung palsu seperti perak. Hidungn buatannya itu kemudian menimbulkan bau yang tidak sedap, sehingga ia meminta nasihat Nabi saw.kemudian Nabi menganjurkan untuk segera mengganti hidung perak itu dengan bahan emas.1 Namun, transplantasi suatu organ tubuh dari spesies yang sama belum pernah terjadi sampai pada tahun 1913, yaitu ketika Dr. Alexis Carrel, seorang ahli bedah dari Prancis, berhasil melakukan transplantasi ginjal seekor kucing pada kucing lain. Sampai pada akhirnya, Prof. Christiaan N. Barnard beserta tim ahli bedahnya dari Afrika Selatan pada tanggal 3 Desember 1967 berhasil melakukan pemindahan jantung dari seorang wanita berusia 24 tahun untuk seseorang berusia 54 tahun.
Sedangkan tranpusi darah pertama kali dilakukan oleh Dr. James Blundell pada tahun 1818 dari RS. St. Thomas and Guy. Ia berhasil melakukan transfuse darah dari manusia ke manusia setelah ia berhasil menemukan alat transpusi darah secara langsung.
Begitulah singkatnya sejarah mengenai transplantasi organ tubuh dan transpusi darah. Dan sampai sekarang masih dilakukan di dunia kedokteran di berbagai penjuru dunia.
Terlepas dari sejarah singkat transplantasi (pencangkokan)organ tubuh dan transpusi darah, maka pada kali ini pembahasan makalah mata kuliah “Masail Fiqhiyah” ini adalah mengenai permasalahan hukum pencangkokan jantung, ginjal, mata, transpusi darah dan bedah mayat.
BAB II
PEMBAHASAN
PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH
  1. TRANSPLANTASI (PENCANGKOKAN) JANTUNG, GINJAL, MATA
Transplantasiadalah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik.
Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah : mata, ginjal, dan jantung, karena ketiga organ tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia, terutama sekali ginjal dan jantung.
Orang yang menderita penyakit mata, ginjal, dan jantung, tentu
mengharapkan uluran tangan dari para donor, yaitu donor mata, ginjal, dan
jantung.. Para donor yang kita kenal sekarang ini, lebih banyak dari kalangan
orang yang sudah meninggal dunia dan tidak banyak dari orang yang masih hidup.
B.    Hukum Pencangkokan Jantung, Ginjal, Mata
Masalah pencangkokan jantung biasanya dilakukan pada oaring dewasa,yang pada umumnya sudah berumur 40-50 tahun. Yaitu penderita yang pernah terserang demam rematik atau penyakit khas lainnya, yang berakibat terjadinya penyakit jantung.
Pada dasarnya, agama Islam membolehkan pencangkokan jantung pada pasien sebagai salah satu upaya pengobatan penyakit, yang sebenarnya dianjurkan dalam Islam.
Masalah donor mata, terjadi dua pendapat di kalangan fuqaha. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkannya dengan mengemukakanalasan masing-masing; seperti:
1)     Bagi ulama yang mengharamkannya; mendasarkan pendapatnya pada
hadist yang Artinya: “Sesungguhnya pecahnya tulang mayat (bila dikoyak- koyak), seperti (sakitnya dirasakan mayat) ketika pecah tulangnya di waktu ia masih hidup.” H.R. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah yang bersumber dari Aisyah.
2)     Bagi ulama yang membolehkannya; mendasarkan pendapatnya pada hajat (kebutuhan) orang yang buta untuk melihat. Maka perlu ditolong agar dapat terhindardari kesulitan yang dialaminya, dengan cara donor mata dari mayat. Berdasarkan pada qaidah fiqhiyah yang berbunyi: Artinya: “Kesulitan (yang dialami manusia), boleh diupayakan untuk mendapatkan kemudahan.”
Dan ayat al-Qur’an memberikan petunjuk umum yang terdapat pada ayat
yang artinya berbunyi: “…………….dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan suatu kesulitan untuk kamu dalam agama….” (Q.S. al-Hajj :78)
Sedangkan masalah pencangkokan ginjal, apabila yang bersumber dari manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, disepakati oleh kebanyakan ulama hukum Islam tentang kebolehannya bila dicangkokan kepada pasien yang membutuhkannya, karena dianggap sangat dibutuhkan dan bahkan
darurat. Kedua alasan inilah yang membolehkannya, sebagaimana qaidah fiqhiyah
diatas. Namun, ulama hukum Islam masih memperdebatkan mengenai ginjal yang
diambil dari binatang (babi).
Secara prinsip syariah secara global, mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ ataupun jaringan. Dalam simposium Nasional II mengenai masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di Indonesia. Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang  yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa pada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.)
Lebih rinci, masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu :Pertama : Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama.Kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain.
Masalah pertama yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab.
Adapun masalah kedua yaitu penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain maka dapat kita lihat persoalannya apabila jaringan/organ tersebut diambil dari orang lain yang masih hidup, maka dapat kita temukan dua kasus.
Kasus Pertama : Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al- Qur’an surat Al-Baqarah:195, An-Nisa’:29, dan Al-Maidah:2 tentang larangan menyiksa ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.
Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu:
1)     Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding.
2)     Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan.
3)     Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar- benar darurat.
4)     Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar.

Dalam buku “Fatwa-fatwa Kotemporer” Dr. Yusuf Qharhawi mengatakan “adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.”
C.    TRANSPUSI DARAH
Transfusi darahadalah penginjeksian darah dari seseorang (donor) ke dalam system peredaran darah seseorang yang lain (resipien). Menurut Dr. Rustam Masri, transfusi darah adalah proses pekerjaan pemindahan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang bertujuan untuk:
Menambah jumlah darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang
darahnya berkurang karena sesuatu sebab, misalnya pendarahan, operasi, kecelakaan dan sebab lainnya. Menambah kemampuan darah dalam badan si sakit untuk menambah/membawa zat asam. Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dan sebagainya.
Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah: “dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan
manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).
Hubungan Antara Donor Dengan Resipien (Penerima)  Transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Karena itu, jika si donor dan resipien ingin mengadakan hubungan perkawinan, maka tidak ada larangan dalam agama Islam. Sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya  hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, danmahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.
Hendaknya diingat, bahwa bila tidak hati-hati dalam penanganan transfusi darah ini, maka akan ada resiko bagi resipien. Sebab itu secara medis harus diperhatikan pengaruhnya, misalnya setiap donor harus terhindar dan bebas dari segala macam penyakit yang dapat mengganggu kesehatan resipien. Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersial. Darah itu dapat disumbangkan secara langsung kepada yang memerlukannya.
Para resipien hendaknya tidak usah mempertanyakan tentang donor, apakah seagama dengan dia atau tidak. Demikian juga sebaliknya si donor pun tidak usah mempersoalkan tentang penggunaan darah tersebut.  Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah ini, dapat dilihat  dalam kaidah hukum Islam berikut:  Bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh(mubah), kecuali ada  dalil yang mengharamkannya. Berdasarkan kaidah diatas, maka hukum donor darah itu diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik Al-Qur'an maupun hadits. Namun demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang dapat membahayakan resipien,
maka akhirnya menjadi terlarang. maka berarti transfusi darah diperbolehkan,
bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan
Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.
Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan
dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus
dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal
(Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit
harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya  seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau
operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa
mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaedah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula  membuat mudarat kepada orang lain). Kaidah terakhir ini berasal dari hadits
riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat
Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.

C. BEDAH MAYAT
Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat karena ada suatu maksud atau kepentingan tertentu. Bedah mayat tidak boleh
dilakukan oleh sembarang orang, walaupun hanya sekedar mengambil barang dari
tubuh (perut) mayat. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi
mayat.
Diantara tujuan yang terpenting bedah mayat adalah :
1)     Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
2)     Untuk mengeluarkan benda yang berharga dari tubuh mayat.
3)     Untuk kepentingan penegakkan hukum.
4)     Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran.

Tujuan bedah mayat yang telah dikemukakan diatas, perlu dikaitkan
dengan hukum Islam, agar orang yang melaksanakannya tidak merasa ragu-ragu
dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
a.      Menyelamatkan janin
Seorang wanita hamil, yang meninggal dunia, tidak boleh dikuburkan
sebelum jelas betul atau sebelum terbukti, bahwa bayi yang dikandungnya itu juga meninggal, berdasarkan keterangan bidan atau dokter ahli. Hal ini dilakukan terhadap janin yang sudah berumur tujuh bulan atau lebih.
Dalam hal ini, Islam membolehkan membedah mayat yang didalam rahimnya terdapat janin yang masih hidup.
b.     Mengeluarkan benda yang berharga dari perut mayat
Bedah mayat wajib hukumnya apabila dalam perutnya ada batu permata (barang berharga) milik orang lain.



    1. Menegakkan kepentingan hukum
Peralatan modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab kematian seseorang dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan tersebut, cukup menjadi alas an untuk membolehkan membedah mayat sebagai bahan penyelidikan,
Karena sangat diperlukan dalam penegakkan hukum, dan sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: Tidak haram bila darurat dan tidak makruh karena hajat
    1. Memperhatikan kepentingan pendidikan dan keilmuan
Diantara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya
kelak.
Sekiranya mayat itu diperlukan sebagai sarana penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran, maka menurut hukum islam, hal ini dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia.




Sedangkan para ulama fiqh, berbeda pendapat mengenai hukum bedah mayat, sebagaimana terlihat pada uraian berikut
1)     Imam Ahmad Bin Hambali
Seorang yang sedang hamil kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya  tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar bahwa janin itu masih hidup.
2)     Imam Syafi'i
Jika seorang hamil, kemudian dia meninggal dunia, dan ternyata janinnya  masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya.
3)     Imam Malik
Seorang yang meninggal dunia, kemudian didalam perutnya ada barang yang berharga, maka mayat itu harus dibedah.
4)     Imam Hanafi
Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu.











BAB III
KESIMPULAN
Hukum permasalahan cangkok jantung, ginjal, dan mata sesungguhnya diperbolehkan dalam Islam. Hanya saja asalkan tidak membahayakan bagi pendonor maupun bagi penerima. Karena ulama sepakat pada qaidah fiqh yang artinya berbunyi “Kesulitan (yang dialami manusia), boleh diupayakan untuk mendapatkan kemudahan”.  Masalah transpusi darah boleh saja tanpa mengenal batas bahwa  mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan sebaliknya demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70).
Maka sudah seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya. Sedangkan masalah hukum bedah mayat dibolehkan untuk beberapa kepentingan, salah satunya yaitu untuk menyelamatkan janin yang masih hidup namun Ibu yang mengandungnya sudah meninggal maka janin tersebut harus diselamatkan.









DAFTAR PUSTAKA


Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Fikih Kesehatan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Cet.ke-1. Agustus 2007
E:\semester_VI\link-2\Sejarah Transplantasi dan hukum donor jaringan tubuh menurut Islam « Manusia biasa.htm
3E:\semester_VI\link-2\Sejarah Transplantasi dan hukum donor jaringan tubuh menurut islam « Manusia biasa.htm